Meter, Seiring Perkembangan Zaman
Penggaris. Alat ini tentu sudah familiar
bagi kita. Kegunaan utama penggaris adalah untuk mengukur panjang, yang di
Indonesia umumnya diekspresikan dalam satuan sentimeter. Tapi sebenarnya apa
sih sentimeter itu?
Sentimeter, sebenarnya tersusun dari 2
kata; prefiks senti, dan meter. Pertama, mari kita mengenal berbagai prefiks
satuan yang biasa digunakan.
Sebelum ditetapkan satuan khusus untuk
mengukur panjang, orang-orang zaman dahulu terbiasa mengukur panjang dengan
membandingkan dengan apapun yang mereka punya. Para filsuf masa lampau kemudian
mencetuskan ide untuk membuat suatu ‘pembanding’ standar yang bisa dipakai
secara luas di seluruh dunia. Tujuannya agar di masa depan orang-orang tinggal
mengalikan pembanding tersebut dengan angka.
Pada tahun 1790, atas berbagai masukan
dari para filsuf terdahulu yang telah melakukan berbagai observasi, sebuah
organisasi nasional di Perancis merilis suatu definisi untuk meter, yakni
panjang sebuah pendulum, yang separuh periodenya adalah selama 1 detik, diukur
di 45° LU (Lintang Utara) pada ketinggian permukaan laut. Sederhana sekali
definisi awal dari “meter” ini. Pendulum digunakan sebagai standar karena pada
masa itu penggunaannya memang sedang populer, terutama di Yunani, pusat
pemikiran filsafat masa itu.
Namun, definisi meter yang telah dibuat tak
lantas membuat para pemikir masa lampau puas karena menyisakan banyak sekali
celah. Bila dibandingkan dengan “meter” yang sekarang, ketidakpastian dari
definisi ini bahkan masih sangat besar mengingat pendefinisiannya masih
bergantung pada satuan lain (detik) dengan ketidakpastian yang lumayan (1
detik). Selain itu, besarnya gravitasi yang tidak sama di seluruh permukaan
bumi juga membuat definisi ini kurang akurat.
Pada tahun 1792, para ilmuwan mulai
memasuki percaturan pendefinisian “meter” ini. Atas masukan dari Akademi Sains
Perancis, dihasilkan definisi baru “meter”. Untuk menghindari pengaruh
perbedaan gravitasi di permukaan bumi, kali ini, panjang “meter” dibandingkan
dengan panjang garis khatulistiwa. Satu “meter” kali ini didefinisikan sebagai
10-7 kali seperempat meridian, yang dihitung secara astronomis sebagai
jarak dari garis khatulistiwa ke kutub utara bumi melewati kota Paris, Perancis.
Definisi meter kemudian diperbarui pada
1795 dengan metode yang sama (pengukuran panjang garis khatulistiwa), tetapi melalui
kota Barcelona, Spanyol. Definisi ini juga masih menyisakan banyak celah karena
permukaan bumi tidak rata, dan bentuk bumi juga tidak bulat sempurna yang sulit
diekspresikan ukuran seperempatnya secara matematis. Ketidakpastian dari
definisi ini adalah sekitar 0,1 mm.
Pada akhir abad ke-18, mulai tercetus ide
untuk membuat suatu benda yang panjangnya akan didefinisikan sebagai “meter”.
Selama proses pengukuran panjang seperempat meridian untuk pendefinisian
“meter” sebelumnya, telah dibuat beberapa batangan dari platinum berdasarkan
meteran sementara. Pada 1799, dipilihlah batangan yang panjangnya mendekati
definisi “meter” sebelumnya untuk menjadi definisi “meter” yang baru. Batangan
ini dikenal sebagai mètre des Archives. Sistem metrik, yaitu sistem
pengukuran yang didasarkan pada satuan meter dan diresmikan di Perancis.
Memasuki abad ke-19, “meter” mulai
mendunia sehingga banyak aspek dari mètre des Archives yang diragukan
orang-orang. Berbagai negara mencoba memakai sistem pengukuran ini dengan
membeli sebuah batangan yang dibuat meniru panjang mètre des Archives
untuk dijadikan standar di negara masing-masing. Akan tetapi, pada saat itu
tidak ada suatu standar yang menjamin bahwa seluruh negara itu mempunyai ukuran
“meter” yang sama panjangnya. Salah satu yang menambah keraguan pada standar tersebut
adalah pemuaian. Ketidakpastian pengukuran “meter” pada masa ini mencapai 0,01
mm.
Pembuatan batangan untuk definisi “meter”. |
Pada 20 Mei 1875, diadakanlah sebuah konferensi
di Paris, Perancis, yang menghasilkan berdirinya BIPM, dengan tujuan untuk
dijadikan lembaga yang melakukan standarisasi pengukuran, antara lain membuat
definisi baru untuk “meter” yang bisa diterima di seluruh dunia. Konferensinya
sendiri dijadikan sebuah konferensi rutin yang disebut CGPM (dalam bahasa Inggris:
General Conference on Weights and Measures; bahasa Prancis: Conférence
Générale des Poids et Mesures).
Pada 1889, akhirnya disepakati suatu
definisi “meter” sebagai jarak antarsumbu dari 2 garis tengah yang tertanda di
batangan campuran 90% platina dan 10% iridium (yang lebih tahan terhadap
tekanan daripada platina murni), dan dibentuk dengan bentuk penampang
menyerupai huruf X untuk meminimalkan tekanan akibat torsi pada tekanan udara standar dan suhu 0°C, didudukkan
di atas 2 silinder dengan diameter minimal 1 cm yang secara simetris terletak
pada bidang horizontal yang sama dengan jarak 571 mm antar kedua silinder
tersebut.
Salah satu batangan “meter” 1889 yang disimpan di Amerika Serikat. |
Definisi “meter” ini disimpan oleh BIPM,
setelah sebelumnya sebuah industri di London berhasil memproduksi 30 batangan
serupa (salah satunya akhirnya menjadi definisi “meter”) dan didistribusikan ke
berbagai negara untuk digunakan sebagai standar di masing-masing negara. Satu
dari 30 batangan itu disimpan dan ditetapkan menjadi definisi “meter”. Pada
masa ini ketidakpastian pengukuran “meter” mencapai 0,1 um.
Seiring berkembangnya teori kuantum dan
berbagai eksperimen gelombang, pada 1950, metode pengukuran panjang dengan interferometer
mampu menghasilkan pengukuran yang lebih akurat dengan memanfaatkan
interferensi gelombang elektromagnetik. Dipilihlah atom kripton 86 yang
berwujud gas pada suhu ruangan sebagai standar.
Pada 1960, disepakatilah definisi baru
dari “meter”, yakni 1.650.763,73 kali panjang gelombang radiasi transisi antara
kulit 2p10 dan 5d5 pada atom kripton 86 di ruang hampa
udara. Definisi ini disandarkan pada definisi “angstrom” yang pada masa lalu
dibuat dan digunakan untuk pengukuran panjang gelombang, sebagai panjang
gelombang garis-garis kadmium di udara. Ketidakpastian definisi “meter” ini
sebesar 4 nm.
Tidak lama setelah itu, sebuah penemuan
besar kembali mempengaruhi definisi “meter”. Laser yang monokrom (tersusun atas
satu jenis gelombang cahaya, satu warna) dan seluruh cahayanya mempunyai fase
yang sama membuat para ilmuwan tertarik untuk kembali memperbarui definisi
“meter”. Kekurangan-kekurangan kripton sebagai standar juga mulai terungkap,
antara lain garis-garis gelombang kripton menunjukkan ketidaksimetrisan pada
kondisi tertentu, sehingga menimbulkan definisi “meter” yang bias, tergantung titik
referensi yang diambilnya.
Frekuensi gelombang cahaya laser saat itu
didapatkan sebesar 88,376181627 THz sehingga pada 1975 disepakatilah kecepatan
cahaya sebesar 299.792.458 m/s di CGPM ke-15. Kemudian, definisi baru dari
“meter” ditetapkan pada 1983 sebagai jarak yang ditempuh dalam perjalanan
cahaya di ruang hampa selama 1/299.792.458 detik. Konsep pendefinisian “meter”
1983 yang mengacu pada satuan waktu ini sama dengan konsep pertama “meter” yang
memanfaatkan pendulum, namun dengan tingkat ketidakpastian yang jauh lebih
baik, sekitar 0,1 nm.
Begitulah perkembangan pendefinisian “meter”
dari masa ke masa. Jadi, ukuran 1 “meter” itu tidak serta merta ada di atas
penggaris, pendefinisiannya erupakan kesepakatan para ilmuwan di seluruh dunia.
Ilmu pendefinisian dan standardisasi ukuran ini sendiri dinamakan ilmu
metrologi.
Zaman sekarang, pengukuran panjang sudah
menjadi hal yang relatif mudah. Untuk mengukur jarak jauh, pantulan gelombang
ultrasonik (misalnya suara, yang kecepatan rambatannya sudah diketahui) atau
gelombang elektromagnetik (misalnya laser, yang kecepatan rambatannya juga
sudah diketahui) bisa digunakan dan dalam sekejap hasilnya didapatkan, dengan
memanfaatkaan rekaman interval waktu antara pengiriman sinyal sampai sinyal
pantulan diterima. Sementara untuk mengukur benda-benda kecil, mikroskop
elektron dan kawan-kawannya dapat digunakan.
Bahan bacaan:
Telah diterbitkan di Rubrik Teknologi Majalah 1000guru edisi Maret 2015.
No comments:
Post a Comment