suatu hari di kota Kaohsiung, Taiwan |
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Qs. Al-Mulk : 15)
Tepat sepekan yang lalu, kami riweuh urus kepindahan dari Chemnitz. Dari packing pakaian, bahan-bahan makanan yang bersisa dan ga mungkin kami bawa, urus registrasi keluar asrama sampai perlu nge-cat dinding kamar yang ‘kata’ hausmeister (pj asrama) berubah warna (jadi putih sedikiiiiiiiiit dekil lebih tepatnya) dan berlanjut nge-cat dinding sharing room dengan tetangga yaitu dapur. Kembali lagi kami mengulang kejadian 5 bulan sebelumnya, angkat-angkat koper naik bis dan tram. Tapi Alhamdulillah kepulangan kami banyak yang membantu. Abang, Mas, Bapak dan Mba-Mba yang sudah seperti keluarga kami selama berkelana di Jerman. Semoga Allah balas kebaikan mereka dengan surga-Nya..
“Tenang aja.. 5 bulan ga akan berasa.” Inget dulu waktu pertama kali injek kaki di tanah Eropa.. takutnya, khawatirnya, dan ga nyamannya saya tinggal di Jerman. Itu semua ngebuat saya lebih baik nyibukkin diri di dalam kamar aja daripada mesti keluar dan ketemu orang-orang asing yang saya ga bisa bahasanya. Alhamdulillah 1-2 bulan lewat, life must go on, dapur mesti ngebul, 1 team mesti kompak. Yang 1 rutinitas ke lab, saya urus rumah (kamar). Alhasil mesti berani belanja sendiri, nanya-nanya orang Indonesia banyak hal terutama bahan makanan, main ke wohnung (tempat tinggal) Mba-Mba disana sendirian. Well, semuanya berbuah juga.. manis iya, asem iya, pahitnya juga ada. Namanya juga buah kan, gimana kita ambil pelajarannya aja supaya nanti dapet banyak buah manis nya. Hehehe.
Memang bener sih waktu berjalan sangat cepat. Paling berasa ditinggal waktu kalau lagi ngejar jadwal tram atau kereta. Telat dikit dari jadwal, eh keretanya udah jalan di depan mata. Dan ngenesnya jadwal kereta setiap sejam sekali. Semuanya jdi mesti serba direncanain dan se-presisi mungkin. Duh, ini nih sering banget dialamin. Kaki yang biasanya naik motor kemana-mana mesti diajak jalan terus, saya mesti banyak menyesuaikan. Apalagi langkah-langkah kaki orang Jerman cepat dan lebar. Inget waktu pertama kali dibantu teman Mas Salman dari Jerman untuk urus sim card dllnya, beliau mungkin kayak jalan biasanya. Tapi di belakang kami beneran lari buat ikutin ritme beliau. Di tambah kondisi jalanan masih bersalju. Hahaha. Sedih sih kalau ada yang bilang kaki orang asia pendek-pendek (langkahnya kecil, jadinya lebih lamban). Tapi kenyatannya… hmm, bener juga sih kalau faktanya buat saya sendiri. Hehe..
Disamping banyaknya kejadian dan segelintir pengalaman kami saat disana, saya sendiri juga belajar banyak hal. Pelajaran yang mungkin ga saya temuin kalau saya ga alamin itu semua. Tempat baru, rumah baru, orang-orang baru, bahasa baru, kultur baru, gesture badan yang beda, budaya yang beda, saudara baru, kebiasaan baru, ilmu baru, dan itu semua ngebuka pandangan kami, khususnya saya tentang makna perjalanan yang kemudian tidak lepas dari momen perpisahan. Berpisah dengan semua yang awalnya terasa baru dan asing. Berpisah dengan semua momen baru yang sudah menyatu dengan kebiasaan. Berpisah dengan banyak keramahan teman baru dan makanan-makanan khas mereka. Mesti berpisah dengan ‘ladang ujian dan pembelajaran’ yang Allah amanahkan untuk dipelajari. Semoga semuanya berbuah ridho Allah ta’ala..
Bukan cuma di Chemnitz aja, sewaktu kami bertandang ke Belanda, Praha, Taiwan dan kota-kota lainnya di Jerman, saya melihat banyak orang asing dengan berbagai latar ras dan negara di satu tempat. Pernah suatu kali saya dan Mba eka (orang Indonesia yang paling sering saya ganggu waktunya selama di Jerman hehe) pulang naik bis menuju arah rumah kami di Gutenberg Str. Memang lingkungan kami tinggal wilayah mahasiswa karena berjejer beberapa gedung asrama. Jadinya, setiap kali pulang dari bepergian pasti kami se-tram atau se-bis dengan mahasiswa. Nah dibis itu seperti biasa kami ngobrol biasa sampai ada di satu detik kami sadar kalau di dalam bis semua orang yang saat itu sedang padat lagi pada saut-sautan ngobrol. Kami diem. Saya diem diem merhatiin sekitar dan kalau dihitung, saat itu mungkin ada 6 atau 7 bahasa asing dimana suara saut sautan berisik. Rasanya kayak naik bis di Jakarta, trus di sepanjang jalan ada petugas yang lagi cor jalanan. Berisik, bikin puyeng. Haha. Entah kenapa kami ketawa sendiri, ini toh namanya ‘Angkot Internasional’. Dibelakang mahasiswa Arab, serong kiri Cina, ada Jerman, India, dll. Subhanallah.. betapa Allah membuat kita semua berbeda untuk saling menghargai..
Perjalanan selama ini juga buat saya semakin ‘melek’ keadaan. Bahwa banyaknya orang yang saya temuin, mereka-mereka ini sedang berjuang untuk hidupnya, ada yang disamping itu memperjuangkan agamanya. Kalau di Indonesia, mgkin kalau kita menjadi lebih ‘nakal’ atau berani masuk ke suatu kelompok maka hal-hal buruk pada tatanan sosial di masyarakat akan kita ketahuin. Siapa-siapa aja yang ‘pemakai’, atau siapa-siapa aja yang berbuat ga baik. Tapi disini, saya sendiri ga perlu untuk jadi orang seperti itu untuk tau banyak hal didalamnya karena kejadiannya ada disekitar kami. Berkumpul dengan saudara setanah air yang ternyata beragam cerita. Beragam tingkah. Beragam pandangan. Dan pastinya beragam agama. Subhanallah, mungkin ini kenapa Allah buat saya datang di Jerman untuk sekedar ‘icip’ dan tengok kehidupan disana secara singkat saja. Kalau takdirnya saya jadi mahasiswa dan masih single, wallahu’alam tantangannya akan sehebat apa.
Lagi-lagi, bukan cuma dengan orang-orang Indonesia. Kenalan saya dari Kashmir, Jerman, Maroko dan Mesir juga kasih saya pelajaran di sisi lainnya. Kami semua mayoritas berhijab, dan kami memiliki tantangan yang sama untuk itu. Sungguh, nikmatnya ketika kita bisa berkumpul dengan orang-orang shalih. Bukan berarti saya shalihah lantas buat saya pantas, tapi bersama mereka ngebuat iman saya yang kendor jadi terikat, buat wajah saya yang menunduk perlahan menegak, buat semua kesulitan menjadi rasa syukur. MasyaaAllah, nikmat bersaudara sesama Muslim itu mahal, saudariku…apalagi sebagai kelompok minoritas di negara lain. Perbanyaklah berkawan dengan orang-orang shalih. Surga terasa dekat, meskipun nyala nya api neraka begitu berkoar-koar dibelakang punggungmu. Hingga perpisahan dengan senyuman dan pelukan hangat dari saudari-saudari ini adalah salah satu hal yang cukup berat untuk dilepas. Semoga kami berjumpa lagi di surga-Nya.
“dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Anfal : 63)
Secara ringkas, perjalanan ini yang baru saya alamin langsung setelah menikah adalah, bahwa semuanya yang ada di dunia ga ada yang abadi. Orang yang kita temui hari ini akan dengan sangat cepat dan ga kerasa udah saatnya berpisah. Meskipun sudah berteman 5 tahun, seakan baru kemarin kenal lalu mesti pergi ke jalan masing-masing. Entah berpisah karena pindah tempat, berpisah karena sudah ajal atau apapun. Dan Allah menjadikan perjalanan sebagai sarana untuk hamba-Nya melihat betapa agung dan besar nya kuasa Allah atas penciptaan-Nya. Liat bangunan bersejarah disuatu negara di Eropa, tiba-tiba terbesit, “Ya Allah, Engkau Maha Melihat apa-apa yang hambamu lakukan pada zaman itu.” Trus sekarang Allah liat dan uji kita yang sebegini lemah imannya saat ini. Mungkin ujiannya ga seberapa dengan orang-orang shalih zaman dulu. Tapi nyerahnya lebih cepet. Astaghfirullah.. Nabi Muhammad malu ga ya punya ummat kayak saya. Ilmu cetek, iman kembang kempis, dan banyak lagi kurangnya. Banyak yang perlu di intropeksi buat diri saya sendiri. Dan ini momen musahabah paling 'nyess' menurut saya kalau sedang safar atau perjalanan jauh.
Pada akhirnya, kita sebagai manusia yang lemah akan bertemu Tuhan kita. Jalan apapun yang diambil, coba telisik banyak pelajaran di dalamnya. Banyak bersabar atas beratnya ujian yang kita hadapin. Banyak belajar dari orang yang lebih kekurangan untuk dapat makna syukur yang lebih ikhlas. Lihat sekeliling dan ambil banyak manfaatnya. Tundukkin egonya. Gerus habis rasa sombongnya karena sebetulnya kita awalnya ga berdaya sampai Allah kasih kemampuan. Kasih manfaat sebanyak-banyaknya untuk sekitar, karena kita gatau kapan batas usia kita selesai. Banyak merenung dan terus bersangka baik sama ketetapan Allah. Allah tau kita emang mampunya segini. Belum dikasih suatu hal bukan berarti Allah ga mampu kasih, tapi karena kita nya yang belum mampu diberi, mungkin belum mampu amanah. Semuanya serahin ke Allah aja deh.. satu lagi, jangan ngarep sama manusia. Lelah aja yang ada.. hehe. Liat aja Para Sahabat bisa dakwah ke mancanegara dan nyebar agama Islam pasti modal utamanya karena yakin nya total ke Allah. Padahal gatau juga di negara yang mereka datengin akan seperti apa.
Ya Allah terlalu banyak nikmat yang Engkau berikan, maka mampukan kami untuk selalu bersyukur..
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (Qs. Al-Ankabut : 2)
suatu hari di kota Kaohsiung, Taiwan “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan maka...